Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah
PRINSIP-PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
Sesungguhnya Ahlus Sunnah wal Jamaah berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam i’tiqad, amal maupun perilakunya, seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang teguh oleh para pendahulu ummat dari kalangan sahabat, tabi’in dan pengikut mereka yang setia.
Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut:
Prinsip pertama: Beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul- rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruknya
1. Iman kepada Allah.
Beriman kepada Allah artinya: berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad dan mengamalkannya, yaitu: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ dan Sifat.
Adapun Tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyah artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan itu mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah, apabila memang hal itu disyariatkan oleh-Nya, seperti: berdo’a, takut, berharap, cinta, penyembelihan, nadzar, isti’anah, istighatsah, minta perlindungan, shalat, puasa, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyariatkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali, maupun yang lainnya.
Sedangkan makna Tauhid Al Asma’ wash-Shifat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan atas Diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan mensucikannya dari segala cela dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtsil (perumpamaan), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian), dan tanpa takwil; seperti difirmankan Allah Jalla Jalaluhu.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [الشورى: 11]
“Tak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” [Asy- Syura/42: 11].
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا [الأعراف: 180]
“Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya.” [Al- A’raf/7: 180].
2. Iman kepada para Malaikat-Nya.
Yakni membenarkan adanya para malaikat, dan bahwasanya mereka itu adalah makhluk dari sekian banyak makhluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah menciptakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah:
بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ٢٦ لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ [الأنبياء: 26-27]
“… Bahkan malaikat-malaikat itu adalah makhluk yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya“. [Al-Anbiyaa/21: 26-27].
جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ﴾ [فاطر: 1]
“Allahlah yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga dan empat, Allah menambah para makhluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki” [Fathiir/35: 1].
3. Iman kepada Kitab- kitab-Nya.
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan Kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung di antara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu; Taurat, Injil, dan Al-Qur’an, dan di antara kitab agung di atas yang teragung lagi adalah Al-Qur’an yang merupakan mukjizat yang agung. Allah berfirman:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرً [الإسراء: 88]
” Katakanlah (hai Muhammad):” Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al- Qur’an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu-membahu.” [Al-Israa’/17: 88].
Dan Ahlus Sunnah wal Jamaah mengimani bahwa Al Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah, dan dia bukanlah makhluk, baik; huruf maupun maknanya. Berbeda dengan pendapat golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asy’ariyah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman Allah) hanyalah maknanya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah kedua pendapat tersrbut adalah batil, berdasarkan firman Allah:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ [التوبة: 6]
“Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia, sehingga ia sempat mendengar kalam Allah (Al- Qur’an)“. [At Taubah/9: 6].
يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ [الفتح: 15]
“Mereka itu ingin merubah kalam Allah“. [Al Fath/48: 15].
Dalam ayat-ayat di atas, tegas dinyatakan bahwa Al Qur’an sebagai Kalam Allah, bukan kalam yang selainnya.
4. Iman kepada para Rasul
Yakni membenarkan semua rasul-rasul, baik; yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak, dari yang pertama sampai yang terakhir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada nabi kita secara terperinci, serta mengimani bahwa beliau adalah penutup para nabi dan para rasul serta tidak ada nabi sesudahnya.
Maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian berarti dia telah kafir.
Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka. Berbeda dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka, sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukannya sebagai tuhan (Allah), sebagaimana yang difirmankan Allah:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ [التوبة: 30]
“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu anak Allah, dan orang-orang Nashrani berkata: Isa Al Masih itu anak Allah.” [At Taubah/9: 30].
Sedang orang-orang sufi dan para Ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka telah merendahkan dan menghinakan hak para rasul, dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kapada seluruh para Rasul tersebut.
Orang yahudi telah kafir kepada Nabi Isa dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang orang Nashrani telah kafir kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan orang-orang yang mengimani sebagian dan mengingkari sebagian (para rasul) maka dia telah mengingkari seluruh Rasul, Allah telah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا١٥٠ أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا [النساء: 150-151]
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan mengatakan: “kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan di antara yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang menghinakan“. [An-Nisa’/4:150-151].
Dan juga Allah telah berfirman:
لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ [البقرة: 285]
“Kami tidak membeda-bedakan satu di antara Rasul rasul-Nya.” [Al Baqarah/2: 285].
5. Iman kepada hari Kiamat.
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya; tentang adzab dan nikmat qubur, hari kebangkitan dari qubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatan, dan pemberian buku catatan amal dengan tangan kanan atau tangan kiri, tentang jembatan (shirath), serta surga atau neraka, di samping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan shaleh, dan meninggalkan amalan buruk serta bertaubat meninggalkannya.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani tidak mengimani hal ini dengan keimanan yang benar sesuai dengan tuntunan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah:
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ﴾ [البقرة: 111]
“Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: sekali-kali tidaklah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani, demikianlah angan-angan mereka…”. [Al Baqara./2: 111].
وَقَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُودَةً [البقرة: 80]
“Dan mereka berkata: kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja.” [Al Baqarah/2: 80].
6. Imam kepada Takdir.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya di Lauh Mahfudz; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, taat, maksiat, itu telah dikehendaki, ditentukan, dan diciptakan-Nya, dan bahwasanya Allah itu mencintai ketaatan dan membenci kamaksiatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak, dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang menghantar mereka kepada ketaatan atau kemaksiatan, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjan-pekerjaannya, tidak memiliki pilihan atau kemampuan, sebaliknya golongan Qadariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptakan pekerjaannya, kemauan dan kehendak itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ [التكوير: 29]
“Dan Kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya.“[At Takwir/81:29].
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai bantahan terhadap golongan Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah, dalam saat yang sama, juga merupakan bantahan atas golongan Qadariyah. Dan beriman kepada takdir dapat menimbulkan sikap sabar saat seorang hamba menghadapi berbagai cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji, bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.
Prinsip kedua : Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan, dan keyakinan yang bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (pengetahuan) dan meyakini tanpa ikrar dan amal. Sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا﴾ [النمل: 14]
“Dan mereka mengingkarinya karena kadzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya.” [Al An’am/6: 14].
فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ٣٣﴾ [الأنعام: 33]
“Karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu menentang ayat-ayat Allah“. [Al An’aam/6: 33].
وَعَادًا وَثَمُودَ وَقَدْ تَبَيَّنَ لَكُمْ مِنْ مَسَاكِنِهِمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَكَانُوا مُسْتَبْصِرِينَ [العنكبوت: 38]
“Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” [Al Ankabut/29: 38].
Bukan pula iman itu hanya satu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan, karena yang demikian adalah keimanan golongan Murjiah, Allah sering kali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ٢ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ٣ أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا [الأنفال: 2-4]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah meraka yang apabila ia disebut nama Allah bergeter hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allah-lah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka, merekalah orang-orang mukmin yang sebenarnya“. [Al Anfaal/8: 2-4].
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ [البقرة: 143]
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian“. [Al Baqarah/2: 143].
Prinsip ketiga : Yaitu shalatmu dengan menghadap ke baitul Maqdis, maka shalat di sini dinamakan iman.
Dan di antara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain kemusyrikan dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir, misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila ia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Ia berkehendak Ia akan mengampuninya dan jika Ia berkehendak Ia akan mengazdabnya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, Allah telah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ [النساء: 48]
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang di kehendaki-Nya.” [An Nisaa’/4: 48].
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini pertengahan antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik, dan Murjiah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mukmin sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula suatu dosa maksiat tidak mengurangi iman, sebagaimana tak berguna suatu perbuatan taat dengan adanya kekafiran.
Prinsip keempat: Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah wajib taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat. Apabila mereka memerintahkan berbuat maksiat di kala itu kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Jalla Jalaluhu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ﴾ [النساء: 59]
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlan kepada Rasul serta para pemimpin di antara kalian ..” [An Nisaa/4: 59].
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
«أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ»
“Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian seorang budak”
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang bahwa maksiat kepada seorang pemimpin yang muslim merupakan maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:
«مَنْ يُطِعِ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ عَصَى الأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ»
“Barangsiapa yang taat kepada pemimpin (yang muslim) maka dia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amir maka dia maksiat kepadaku“. (HR. Bukhari-Muslim).
Demikian pula Ahlus Sunnah wal Jamaah memandang keharusan shalat dan berjihad bersama para pemimpin dan menasehati serta mendoakan mereka untuk kebaikan dan keistiqamahan.
Prinsip kelima: Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah haramnya memberontak terhadap pimpinan kaum muslimin apabila melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinam para imam pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur, dan mereka memandang amalan tersebut sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. Sedang pada kenyataannya, tindakan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemungkaran yang besar karena dapat menimbulkan bahaya yang besar, berupa; kericuhan, keributan, dan kerawanan dari pihak musuh.
Prinsip keenam: Dan di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul ش, sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Jalla Jalaluhu ketika mengkisahkan sahabat Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ [الحشر: 10]
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan: “ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman; ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“. [Al Hasyr/59: 10].
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
«لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ»
“Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku di tangan-Nya, kalau seandainya salah seorang di antara kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang di antara mereka tidak juga setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berbeda dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhah maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khatab, ‘Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhum. Barangsiapa yang mencela salah satu di antara mereka, maka dia lebih sesat dari pada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma’ atas kekhalifahan mereka dalan urutan seperti ini.
Prinsip ketujuh: Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya
«أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِيْ أَهْلِ بَيْتِيْ»
“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”
Sedang yang termasuk ahli bait (keluarga) beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka:
نِسَاءَ النَّبِيِّ [الأحزاب: 32]
“Wahai istri-istri Nabi …” [Al Ahzaab/33: 32].
Kemudian mengarahkan nasihat-nasihat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرً [الأحزاب: 33]
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya“. [Al Ahzaab/33: 33].
Pada dasarnya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksudkan di sini khususnya adalah yang shaleh di antara mereka. Sedang saudara-saudara dekat yang tidak shaleh, seperti pamannya, Abu Lahab, maka mereka tidak memiliki hak. Allah berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ [المسد: 1]
“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sungguh celaka dia.” [Al Lahab/111: 1].
Mereka sekedar ada hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa keshalehan dalam beragama (Islam) tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا, يَا عَبَّاسُ عَمَّ رَسُوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا, يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُـوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئاً, يَا فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَلِيْنِيْ مِنْ مَـالِيْ مَا شِئْتِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun, wahai Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah. Wahai Shafiah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, wahai Fathimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan saudara-saudara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shaleh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan. Mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau mudharat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman:
قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا [الجن: 21]
“Katakanlah (hai Muhammad) bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemudharatan dan manfaat bagi kalian.” [Al Jin/72: 21].
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ [الأعراف: 188]
“Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak memiliki manfaat atau mudharat atas diriku kecuali apa-apa yang dikehendaki oleh Allah, kalaulah aku mengetahui yang ghaib sungguh aku akan perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan“. [Al A’raf/7: 188].
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi apa yang diyakini sebagian orang terhadap kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu keyakinan yang bathil.
Prinsip kedelapan: Dan di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah membenarkan adanya karamah para wali, yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karamah-karamah tersebut di antaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.
Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karamah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga menganggap hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk karamah, berupa; jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta.
Perbedaan karamah dan kejadian yang luar biasa lainnya itu jelas. Karamah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang shaleh, sedang sihir adalah keluar-biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengaruk harta mereka. Karamah bersumber pada ketaatan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan.
Prinsip kesembilan: Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun batin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Khulafaurrasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ»
“Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku, dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk”
Dan Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mendahulukan perkataan siapapun atas firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab was Sunnah.
Setelah mengambil dasar Al Qur’an dan As Sunnah mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ‘ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar ketiga yang selalu dijadikan sandaran setelah dua dasar yang pertama; yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Allah telah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء: 59]
“Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya“. [An Nisa’/4: 59].
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’suman (terpelihara dari berbuat dosa) seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’assub (fanatik) pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al Kitab dan As Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Dan tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali mereka yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan di antara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan di antara mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang ta’assub (fanatik) dan ahli bid’ah. Sungguh mereka tetap mentolerir perbedaan yang wajar, bahkan mereka tetap saling mencinta, loyal satu sama yang lain; sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapapun ada perbedaan masalah fiqh di antara mereka. Sedang ahli bid’ah memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang, yang menyimpang dari golongan mereka.
[Disalin dari أصول عقيدة أهل السنة والجماعة (edisi Indonesia : Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Penulis Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Editor : Dr Muh Muinudinillah Basri, Erwandi Tarmizi. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/99743-prinsip-prinsip-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html